Precious Life

Thursday, July 29, 2010

Belajar dari Penambang Belerang di Kawah Ijen

Melihat tayangan salah satu televisi swasta beberapa hari yang lalu menginspirasi saya untuk menulis sesuatu tentang perjuangan seorang lelaki, suami dan seorang ayah yang bermata pencaharian sebagai penambang belerang di Kawah Ijen.
Namanya Madrusin...

Lelaki paruh baya itu sehari-hari menghabiskan waktunya dalam kepulan asap dengan bau yang sangat menyengat dari Kawah Ijen, dari pagi hari ia menempuh perjalanan panjang menuju kawah itu, sesampainya dengan sabar ia kumpulkan setumpuk belerang dan satu persatu bongkahan belerang itu ia masukan dalam bakul rotannya, itu jika ia sangat beruntung bisa dengan cepat mendapatkannya karena telat sedikit bisa-bisa ia tidak kebagian belerangnya karena harus beradu cepat dengan puluhan penambang belerang lainnya. Maka ia  harus menunggu cairan panas dari kawah itu berubah menjadi bongkahan belerang yang lebih keras. Wajahnya hampir tertutup oleh masker seadanya yang ia buat sendiri, saya saja tidak membanyangkan bagaimana rasanya menghirup udara dengan kepulan asap setebal itu, menyengat pula dan dilakoni setiap hari. Apa jadinya paru-paru ini??..

Saat waktunya makan tiba, yang aku lihat nasi dengan lauk pauk seadanya beralaskan kantong plastik, tampaknya cukup mengganjal perutnya setelah keringat hampir membasahi seluruh tubuhnya. Saat reporter menanyakan cangkang salah satu merk vitamin yang terbuang, ia langsung menjawab " Wah yang begini-begini ini bukan berasal dari kita, ini sampah wisatawan, orang gedongan kalau kita-kita mana mungkin bisa makan yang beginian." Ya Allah ingin rasanya aku bisa bertemu orang-orang hebat itu dan berbagi dengan mereka semua, bukan sekedar wisatawan yang semata-mata eksis dengan foto-foto keindahan kawah itu saja.

Waktu menuju perjalan pulang, siapkan tenaga untuk mengangkat belerang rata-rata seberat 80 s.d 90 kg. Subhanallah....bagaimana Bapak ini melakukannya, berjam-jam harus ia tempuh medan berat itu, jalan yang berliku menyusuri pegunungan menuju tempat akhir penampungan belerang, disepanjang perjalanan ia bercerita..dan tau dihargai berapa perjuangan berat ini..hanya 600 rupiah saja per kg nya. Sungguh ironi perjalanan para penambang ini.

Ditengah perjalanan terhenti sejenak tuk beristirahat, merasakan betapa sakit kedua bahunya lecet dan memerah, kulitnya terlihat lebih tipis dan posisi bahu lebih cekung karena tertekan beban berat setiap harinya. Sungguh ini yang membuat aku menetaskan air mata, betapa sulit Bapak-Bapak ini menapaki satu perjalanan untuk menafkahi dan membahagiakan anak istrinya dan belum tentu pekerjaan ini bisa dilakoni setiap hari, dengan penghasilan seadanya belum tentu juga bisa mengejar inflasi yang terus menerus itu.

Perjalanan ini menyadarkan saya, betapa kita lebih beruntung dari mereka, Tuhan telah adil membagi pintu rejeki bagi umatNya di pos-pos yang telah ditentukanNya. Lalu apa dengan pekerjaan yang mungkin sedikit lebih mudah dan ringan, kita masih berpikir untuk mengeluh??...

Kalau saya rasanya tidak berani lagi..saya sudah sangat bersyukur atas apa diberikanNya, namun dengan keteguhan apapun yang sedang kita jalani, mudah-mudahan semakin membuka lebar pintu rejeki kita dan meningkatkan kualitas hidup kita. Amin...

No comments:

Post a Comment